JAKARTA, OTONOMINEWS.ID – Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani menyampaikan ada tiga hal fundamental yang bisa dilihat dari kesaksian Agustiani Tio Fridelina di sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan, Jumat (7/2/2025).
Julius pun menilai Hakim PN Jaksel sebaiknya melakukan pendalaman dan memeriksa serius atas kesaksian Tio dalam sidang Praperadilan atas Penetapan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tersangka oleh KPK.
Mantan narapidana kasus suap pergantian antar waktu (PAW) Harun Masiku, Agustiani Tio Fridelina mengaku ditawari uang Rp2 miliar oleh orang tak dikenal (OTK) sebelum diperiksa penyidik KPK.
Tio juga mengaku merasa diintimidasi ketika diperiksa, bahkan terindikasi diarahkan/digiring menyebut nama seseorang.
Nah, Julius Ibrani melihat ada tiga persoalan yang fundamental dalam suatu proses hukum acara pidana dalam kerangka projustisia.
Pertama, Julius menyebut adanya dugaan intimidasi yang dilakukan oleh pihak penyidik terhadap Agustiani Tio.
Kedua, intimidasi ditujukan untuk menyebut nama salah satu orang dengan melakukan perbuatan tertentu. Namun kesaksian itu bukan peristiwa yang sebenarnya dialami, didengar, dan dilihatnya.
Ketiga, ada seseorang yang mengaku menawarkan uang Rp2 miliar kepada Tio untuk memberikan keterangan sesuai dengan apa yang “diarahkan” oleh penyidik. Yaitu menyebut satu nama, lalu satu nama itu melakukan sebuah perbuatan penyuapan terhadap Harun Masiku.
“Dari tiga peristiwa itu, maka bisa dipastikan apabila yang melakukan oleh penyidik KPK itu sudah terjadi dua pelanggaran dan satu kejahatan,” kata Julius saat dihubungi wartawan, Minggu (9/2/2025).
Julius menjelaskan, dua pelanggaran itu berupa pelanggaran dalam proses hukum acara di mana dalam menggali/mencari/mengumpulkan alat bukti yang berupa keterangan saksi itu harus dilakukan secara sah.
Dimana, tidak boleh dilakukan dengan cara-cara paksaan, cara-cara intimidasi apalagi mengarahkan untuk memberikan keterangan yang sebenarnya tidak atau bukan sebuah peristiwa yang dialami, didengar, dan dilihat oleh si saksi.
“Nah pelanggaran ini sudah pelanggaran etik yang sangat fundamental sehingga harusnya berpotensi dinyatakan sebagai sebuah pelanggaran berat dengan sanksi dilakukan pemecatan secara tidak hormat terhadap penyidik tersebut,” jelas Julius.
Hal lain, kata dia, upaya intimidasi kepada saksi
berakibat pada pelanggaran dalam proses pengambilan alat bukti, sehingga harus dinyatakan alat bukti itu batal demi hukum dan tidak dapat digunakan dalam proses hukum yang sedang dilakukan oleh KPK.
Yakni, baik itu dalam proses penyelidikan penyidikan yang digabung di KPK atau penuntutan di persidangan.
“Alat bukti itu harus dinyatakan tidak berlaku atau batal demi hukum,” kata dia.
Julius mengatakan, dugaan tindakan penyidik KPK kepada Tio jika memang terjadi merupakan bentuk tindak pidana.